Beberapa minggu lalu, saya diberi company profile oleh sebuah perusahaan asing dalam bentuk PQI card. Bentuknya sebesar kartu kredit, dengan chip di ujungnya. Sebagai orang yang cukup awam dalam bidang IT, sekalipun saya bukan orang yang terlalu gaptek, maka sekalipun saya tidak mengerti cara penggunaannya, saya tidak menanyakannya kepada si pemberi. Gengsi kan. Saya pikir, nanti toh staf saya juga paham. Ternyata staf saya tidak paham juga mengenai penggunaan kartu tsb. Lalu kami coba baca melalui card reader, tidak bisa juga. Ya sudah, saya minta staf saya untuk explore cara penggunaannya.
Dua minggu kemudian, staf ini meng sms saya ( karena saya sedang reses dan berada di Bali ), sedangkan staf ini berkantor di Jakarta. “Pak, PQI card ini sama fungsinya seperti flashdisk, hanya kapasitasnya lebih besar. Saya sudah cek ke yahoo untuk mengetahui penggunaannya, ternyata cukup dicolok ke USB port saja. Isinya berupa film mengenai profil perusahaan tersebut.”
Jadi waktu itu saya terpesona dengan teknologi yang saya anggap canggih ini dan company ini tentunya canggih sekali karena menggunakan PQI, sehingga baik saya, maupun sfat tsb, tidak berpikir untuk mencoba mencolokkannya langung ke USB port.
Begitu juga dengan kebanyakan dari kita dalam menanggapi isu perubahn iklim. Saya sendiri, merupakan peserta Konvensi Perubahan Iklim PBB ( UN Climate Change ) yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali tanggal 3 – 14 Desember 2007 lalu. Ini merupakan konvensi tingkat dunia, dihadiri oleh sekitar 138 negara. Event gegap gempita yang buat saya sebagai orang Bali membanggakan, karena merupakan pengakuan dunia akan dua hal utama : pertama adalah diakuinya keamanan Bali oleh dunia, terlepas dari maraknya isu terorisme di Indonesia belakangan ini. Kedua diakuinya Bali sebagai pulau yang cukup berhasil menjaga kelestarian alamnya. Setelah setengah tahun konvensi berlangsung, bagaimana gaungnya ? Bagi banyak kalangan, termasuk saya sendiri awalnya, pelaksanaan konvensi ini harus dalam skala besar, dengan berbagai mekanisme seperti REDD, CDM ( Clean Development Mechanism ) dll. Padahal dampak perubahan iklim harus ditanamkan kepada masyarakat luas dengan aplikasi yang sederhana. Melakukan perubahan haruslah dari internal, contohnya, Indosat dalam billing statementna menanyakan kepada pelanggan, apakah pelanggan tsb bersedia menerima laporan tagihan via email, sebagai komitmen mereka untuk mengurangi penggunaan kertas. Kertas berasal dari kayu, dan mengurangi penggunaan kertas berarti ikut melestarikan hutan. Ernst and Young juga melakukan serupa, dengan mencantumkan “thank you for considering the environmental impact of printing emails “ di bawah signature pengirim emailnya. Honda mengembangkan mobil Hybrid yang mengeluarkan gas buang lebih sedikit.
Lebih jauh lagi, kita di Indonesia sekarang sedang mengalami krisis listrik. Penghematan listrik yang kita lakukan akan berdampak bagi berkurangnya frekuensi pemadaman listrik. Dan bagi industri, tidak perlu lagi melakukan alokasi jam kerja ke hari Sabtu Minggu. PLN memerlukan batubara sebagai pembangkit listriknya, dan batubara merupakan bahan bakar yang berasal dari fosil, yang termasuk ke dalam energi tak terbarukan. Dan energi tak terbarukan memproduksi emisi gas buang yang besar, yang merusak lapisan ozon. Dan seterusnya.
Jadi, menanggulangi dampak perubahan iklim berasal dari diri sendiri. Think simple, start small.
Selasa, 15 Juli 2008
Rabu, 09 Juli 2008
Putu Supadma Rudana- Registry May 08
Read this document on Scribd: Putu Supadma Rudana -on Registry May 08
Langganan:
Postingan (Atom)
Balinese costumes
Barack Obama's Inauguration Speech
My Amazon favorites
Senator Nyoman Rudana
Senator Nyoman Rudana Suported president SBY in planting trees against climate change
Menbudpar Jero Wacik pada pembukaan _JOGED

JOGED

JOGED-saat pembukaan Pameran Lukisan Ida Bagus Indra 26 April 2008
Dengan ketua STA LAN-Jakarta- Prof. Johanes Basuki,MPsi
